Beranda | Artikel
Manhajus Salikin: Adab Buang Hajat
Kamis, 3 Agustus 2017

Masih melanjutkan bahasan Manhajus Salikin, sekarang yang dibahas tentang beberapa adab buang hajat.

 

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan:

“Disunnahkan ketika memasuki tempat buang hajat melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Mendahulukan kaki yang kiri ketika masuk.
  2. Membaca, “Bismillah, Allahumma inni ‘audzu bika minal khubutsi wal khobaits. [Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan-setan lelaki dan setan-setan perempuan].
  3. Keluar dengan mendahulukan kaki yang kanan.
  4. Membaca ketika keluar dari tempat buang hajat, “ Alhamdulillahilladzi adzhaba ‘annil adza wa ‘aafani. [Aku memohon ampunan kepada-Mu, Ya Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku penyakit dan memberiku kesehatan].
  5. Bersandar pada kaki kiri ketika duduk dan menegakkan kaki kanan.
  6. Menutup diri dengan berada di balik tembok atau lainnya dan menjauh dari pandangan orang ketika berada di tempat terbuka.”

 

Penjelasan:

  1. Masuk kamar mandi dengan mendahulukan kaki yang kiri karena masuk kamar mandi dimaksudkan untuk perkara yang kotor.
  2. Masuk kamar mandi disunnahkan membaca “bismillah, Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”. Kalimat “bismillah” berasal dari hadits ‘Ali di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penghalang antara pandangan jin dan aurat Bani Adam adalah jika ia masuk tempat buang hajat dengan membaca ‘bismillah’.” (HR. Tirmidzi, no. 606; Ibnu Majah, no. 297. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Dalam ta’liq Misykah Al-Mashabih, Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini shahih lighairihi). Kalimat “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits” berasal dari hadits riwayat Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 375).
  3. Kata al-khubutsi (الخبث) bisa dibaca al-khubutsi (ba’ didhommah) dan al-khubtsi (ba’ disukun). Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan lebih banyak riwayat membacanya dengan sukun menjadi ‘al-khubtsi’. Al-khubutsi adalah bentuk plural dari al-khabits. Al-khabaits adalah bentuk plural dari al-khabitsah. Maksud kalimat ini adalah setan laki-laki dan setan perempuan. Lihat penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 4:66.
  4. Keluar kamar mandi dengan kaki kanan, hal ini berdasarkan keumuman hadits ‘Aisyah, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, ketika menyisir rambut dan ketika bersuci, juga dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari, no. 186 dan Muslim, no. 268).
  5. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar dari tempat buang hajat, beliau membaca, ‘Ghufronaka’ (Aku memohon ampunan-Mu, Ya Allah).’” (HR. Tirmidzi, no. 7; Abu Daud, no. 30; Ibnu Majah, no. 300. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
  6. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar kamar mandi membaca ‘Alhamdulillahilladzi adzhaba ‘annil adza wa ‘aafani’.” (HR. Ibnu Majah, no. 301. Al-Bushiri menyatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Di dalam hadits ini terdapat Isma’il bin Muslim Al-Makki, yang dinyatakan dha’if. Hadits ini punya syahid atau penguat dari Ibnu As-Sunni, namun juga dha’if. Kesimpulannya, Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if). Jadi, cukup keluar kamar mandi membaca “Ghufronaka”.
  7. Mengenai adab “bersandar pada kaki kiri ketika duduk dan menegakkan kaki kanan”, ini berdasarkan hadits dari Suraqah bin Malik, dikeluarkan oleh Al-Baihaqi. Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhish (1:107), Al-Hazimi menyatakan bahwa dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak dikenal. Kesimpulannya, haditsnya dha’if sehingga tidak perlu diamalkan.
  8. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat buang hajat menyukai menutupi diri dengan menggunakan hadaf (berada di balik tanah yang tinggi) atau haisy nakhel (pohon kurma yang dapat menutupi.” (HR. Muslim, no. 342).

 

Kaedah Mendahulukan yang Kanan

 

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mendahulukan yang kanan adalah ketika melakukan sesuatu yang mulia (pekerjaan yang baik), yaitu saat menggunakan pakaian, celana, sepatu, masuk masjid, bersiwak, bercelak, memotong kuku, memendekkan kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, memberi salam dalam shalat, mencuci anggota wudhu, keluar kamar mandi, makan, minum, bersalaman, mengusap hajar Aswad, atau perkara baik semisal itu, maka disunnahkan mendahulukan yang kanan. Sedangkan kebalikan dari hal tadi seperti masuk kamar mandi, keluar dari masjid, membuang ingus, istinja’ (cebok), melepas baju, celana dan sepatu, dan semisal itu disunnahkan mendahulukan yang kiri. Ini semua dikarenakan mulianya bagian kanan dari yang kiri. Wallahu a’lam. Para ulama pun sepakat bahwa mendahulukan yang kanan dari yang kiri ketika membasuh tangan dan kaki saat wudhu adalah sunnah. Jika seseorang luput dari mendahulukan yang kanan, maka ia luput dari keutamaan, namun wudhunya tetap sah.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 143).

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Disunnahkan mendahulukan yang kanan saat memakai dan yang kiri saat melepas.” (Syarh ‘Umdah Al-Ahkam, hlm. 52).

Syaikh Prof. Dr. Syaikh Sa’ad bin Turkiy Al-Khatslan ditanya, “Manakah yang lebih afdhol, menggunakan jam tangan di tangan kanan ataukah kiri?”

Syaikh Al-Khatslan hafizahullah menjawab, “Yang nampak, jam tangan (arloji) berfungsi sebagaimana cincin. Ada yang bermaksud mengenakannya sebagai mode (penampilan) dan ada yang bermaksud memanfaatkannya untuk tujuan yang lain. Dan telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau menggunakan cincin di tangan kanan dan kadang di tangan kiri pula. Para ulama akhirnya berselisih manakah di antara keduanya yang terbaik. Yang paling bagus dalam menyikapi hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar ketika ia mengatakan, “Yang tepat, hal ini tergantung tujuan menggunakannya. Jika tujuan menggunakannya adalah untuk penampilan, kanan lebih afdhal. Jika tujuannya untuk memakai sebagaimana cincin, maka yang kiri lebih tepat karena cincin itu seperti suatu ikatan. Dan tujuan ini pun bisa dicapai jika diletakkan di tangan kanan.” (Fath Al-Bari, 10: 327). Oleh karenanya, jika tujuan menggunakan jam untuk mengenali waktu, maka lebih afdhal di tangan kiri. Jika maksudnya untuk penampilan -sebagaimana maksud seperti ini ditemukan pada banyak wanita-, maka afdhalnya adalah di tangan kanan. Wallahu a’lam.”

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

  1. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  2. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.
  3. Syarh Manhaj As-Salikin. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj. hlm. 32-34.
  4. Syarh ‘Umdah Al-Ahkam. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Darut Tauhid.
  5. http://www.saad-alkthlan.com/text-821

 

—-

Disusun @ Perpus Rumaysho Darush Sholihin, 10 Dzulqa’dah 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/16225-manhajus-salikin-adab-buang-hajat.html